Saya terlahir sebagai seorang sulung, artinya sedikit banyak ada semacam beban moral yang memaksa menjadi teladan bagi adik-adik saya. ada semacam aturan tak terlihat yang membatasi tingkah laku untuk bertindak layaknya seorang anak pertama.
Tapi ketika masa transisi datang, dimana lingkungan dan beberapa faktor lain sangat berperan dalam pembentukan karakter, perlahan saya terlupa pada 'norma-norma anak sulung' tadi.
Saya Drop Out dari perguruan tinggi, jelas itu bukan contoh yang baik bagi adik-adik saya. Bahkan di saat yang bersamaan, adik saya telah wisuda dan hidup mandiri dengan mengajar di salah satu pondok pesantren, adik saya yang ke tiga juga telah bekerja. Dan jelas saja, beban moral itu semakin berat karena saya harus mampu membuktikan bahwa jalan yang saya pilih sekarang adalah kebenaran.
Saya mungkin seorang sulung yang aneh, saat manusia lain begitu mendambakan bekerja di pemerintahan, menjadi polisi, dokter atau berbagai profesi 'wah' lainnya. saya memilih menulis dan dunia literasi sebagai wahana penebus keringat sang Ayah dengan secuil bangga.
Sudah berapa bulan tak kujenguk kampung halaman, artinya selama itu pula tak kujumpai belaian Ayah dan Ibu yang begitu menyayangiku. Beruntung aku memiliki seorang Ayah yang sangat bijak dan Ibu yang begitu penyayang, ribuan bahkan jutaan support didatangkan buat anak sulungnya.
Usaha pertamaku adalah menghadiahkan sebuah buku antalogy cerpen karyaku dan beberapa penulis FLP OI apa reaksi sang Ayah ketika membaca cerpenku (menceritakan seorang dengan asa menjadi penulis hebat dan bergelut dengan tumor ganas)?
1. Beliau tersenyum
2. "Pemimpi" sebuah kata yang bel;iau ucapkan
3. Namaku selalu ada dalam do'a-do'anya dan kini do'a ayah berubah menjadi "Semaoga aku menjadi penulis hebat" (selesai sholat berjemaah Ayah selalu melafaskan do'a dengan keras sehingga makmum bisa mendengar dan mengaminkan)
ke tiga reaksi itu kuketahui dari pesan singkat yang dikirim adikku ketika ia pulang membawakan buku yang kutitipkan.
Ada haru dan rasa bersalah yang menyeruak. dan bibirku melantunkan do'a agar Allah menyayangi beliau lebih dari rasa saynangya untuk kami-anaknya.
Saya Drop Out dari perguruan tinggi, jelas itu bukan contoh yang baik bagi adik-adik saya. Bahkan di saat yang bersamaan, adik saya telah wisuda dan hidup mandiri dengan mengajar di salah satu pondok pesantren, adik saya yang ke tiga juga telah bekerja. Dan jelas saja, beban moral itu semakin berat karena saya harus mampu membuktikan bahwa jalan yang saya pilih sekarang adalah kebenaran.
Saya mungkin seorang sulung yang aneh, saat manusia lain begitu mendambakan bekerja di pemerintahan, menjadi polisi, dokter atau berbagai profesi 'wah' lainnya. saya memilih menulis dan dunia literasi sebagai wahana penebus keringat sang Ayah dengan secuil bangga.
Sudah berapa bulan tak kujenguk kampung halaman, artinya selama itu pula tak kujumpai belaian Ayah dan Ibu yang begitu menyayangiku. Beruntung aku memiliki seorang Ayah yang sangat bijak dan Ibu yang begitu penyayang, ribuan bahkan jutaan support didatangkan buat anak sulungnya.
Usaha pertamaku adalah menghadiahkan sebuah buku antalogy cerpen karyaku dan beberapa penulis FLP OI apa reaksi sang Ayah ketika membaca cerpenku (menceritakan seorang dengan asa menjadi penulis hebat dan bergelut dengan tumor ganas)?
1. Beliau tersenyum
2. "Pemimpi" sebuah kata yang bel;iau ucapkan
3. Namaku selalu ada dalam do'a-do'anya dan kini do'a ayah berubah menjadi "Semaoga aku menjadi penulis hebat" (selesai sholat berjemaah Ayah selalu melafaskan do'a dengan keras sehingga makmum bisa mendengar dan mengaminkan)
ke tiga reaksi itu kuketahui dari pesan singkat yang dikirim adikku ketika ia pulang membawakan buku yang kutitipkan.
Ada haru dan rasa bersalah yang menyeruak. dan bibirku melantunkan do'a agar Allah menyayangi beliau lebih dari rasa saynangya untuk kami-anaknya.
6 komentar:
Hiks.... Iman, I like this.
tulisan ini tak ada unsur dramatisasi mb... sebenrnyo berat nak publish catatan in, tp ado semacam dorongan untuk mempublishnya krn aku berharap pengalaman ini bisa memotivasiku dan menjadi pelajaran buat orang lain... even im extremelly an introvert person... thanks mb apresiasinya.
Sedikit ada kemiripan. Terlahir sebagai sulung dari enam bersaudara. Dan jala yang kuambil kini memang sempat mengalami polemik. Tapi syukurlah mereka mau mngerti.
Atas keinginan pembuktian diri dan jujur, mba termasuk orang yang pemalu untuk mengumbar potensi. Sejumlah karya justru terendap dalam lembaran-lembaran kusam.
Mersa belum percaya diri dan malu atas karya yang standar. Mungkin selama ini sering ngomporin teman2 untk mengerimkan krya. tapi sbnarnya itu adalah utk memotivasi diri agar terbebas dari rasa enggan dan ketidakpercayaan diri tadi.
Hadirnya 'Malam Jingga' pun masih mmbuat mba blum percaya. Buku ini ada karya. Buku ini adalah usahaku. Dan lagi-lagi aku malu untuk mngakuinya.
Dan lagi, aku mrasa kalah oleh smangat kalian. Mungkin anggap saja aku sok pintar, sok tau sgala soal kepenulisan. Tapi sungguh aku masih ingin blajar. Dunia literasi ini seolah sudah mnyatu dalam aliran darah. Aku ingin namaku dikenal. :)
aku bersyukur mengenal orang2 seperti kalian...
tak kusangka dibalik senyum yang merona, banyak polemik yang tak terjangkau mata.
aku bersyukur mengenal orang2 seperti kalian...
penuh semangat dan kepercayaan.
aku bersyukur mengenal orang2 seperti kalian...
berani meski terjal.
aku bersyukur mengenal orang2 seperti kalian...
sunguh aku sangat bersyukur...
mb ades: aku percaya kl karya2 mb bakal jdi maha karya suatu hari nanti,, aminnnn...
semoga kita mampu membuktikan bahwa jalan ini adalah pilihan tepat... :)
ismi: aku juga bersyukur mengnal bermacam karakter seperti engkau dan mereka, seperti kalian dan kita...
mensyukuri dihadirkan jiwa2 cerdas dan kreatif, muslim2 tangguh yg dengan hati menghadirkan cahaya, kusyukuri itu semua..... smg bisa saling mencerahkan, amin....
7 tahun yg lalu dan rasanya masih sama. Semangat literasi indonesia.
Post a Comment
komentar anda akan langsung muncul tanpa ada moderasi!! mohon untuk tidak menggunakan 'anonymous' ^^