tulis apapun!!

belajar nge-blog dengan hati..

User Login

On 0 komentar

Nak, kelak jika engkau telah bisa membacakan Ayah sebuah dongeng, maukah kau membaca dari buku sebenarnya? Karena Ayah ingin mendengar suara gerisik ketika kau membuka halamannya. Karena Ayah ingin ujung telunjukkmu merasakan 'kasar' permukaan kertas, atau hidung kita mencium bau khas dari tinta huruf-hurufnya.

Aku mengajakmu membaca sebuah surat yang kutulis. Berharap jika nanti menjadi seorang ayah, surat ini akan kutitipkan pada buah hati yang (mungkin) tak lagi tahu bentuk buku seperti apa. Di Amerika Serikat, buku elektronik banyak dicari di perpustakaan. Benda ini telah bertransformasi menjadi e-book. Sepintas, perubahan ini seperti 'angin segar' bagi kemajuan media informasi (khususnya media berbentuk tulisan), dari yang konvensional menjadi online dan modern. Tapi, fenomena ini seperti memotong esensi murni sebuah buku.

bu·ku n lembar kertas yg berjilid, berisi tulisan atau kosong

See? Kamus Besar Bahasa Indonesia saja seperti terlihat 'kuno' dengan mendefinisikan makna buku. Dan bila itu dibenarkan, maka aku memilih menjadi kuno dan mengajak anakku kelak ikut kuno. Ada rasa kepemilikkan yang lebih menonjol ketika kita memegang buku dibandingkan membaca e-book. Jika boleh saya menyimpulkan; e-book adalah kemajuan penemuan, sekaligus kemunduran esensi dari buku itu sendiri.

Mengapa saya menganggap ini esensial? Karena buku kehilangan hakikatnya sebagai buku. Bukan karena buku dan e-book bisa dibaca, lantas itu sama, melainkan buku telah berubah menjadi sesuatu yang 'jauh' dari pemiliknya. Tidakkah kita merasakan kehilangan esensi di sana? Buku bisa membuat mata kita berkaca-kaca ketika membca sebuah novel yang mengharukan, tapi e-book membuat mata kita jauh lebih sering berkaca-kaca karena perih menatap layar terlalu lama.

Tenang, Nak. Ayah telah membuatkanmu sebuah perpustakaan sederhana di rumah kita. Kau bisa sering-sering ke sana. Menyaksikan benda petak penuh lembar kata, tersusun berjejer-bertumpuk di rak-raknya. Bukan di dalam file PC, atau dokumen handphone.

Rendahnya biaya produksi e-book dibandingkan dengan buku, distribusi dan pemasaran yang juga relatif mudah. Membuat e-book lebih 'menggairahkan' bagi produsen dan pembaca yang mementingkan hal-hal instant. Internet telah membuat manusia malas 'bergerak' semua bisa mereka lakukan dengan online; mulai dari beli buku, download, transfer uang dll. Dan lambat-laun, budaya ini bisa memangkas bisnis buku. Bayangkan! Suatu saat nanti kita tak bisa lagi melihat percetakan, penerbitan, distributor, toko buku, launching, pengantar koran pagi-pagi, atau setengah lembar tabloid yang menjadi bungkus gado-gado.


Ini tentang buku sebenarnya
Buku, sejatinya diciptakan sebagai sarana penyampaian; gagasan, ilmu, emosi, bahkan doktrin sekalipun. Sama halnya dengan si 'saudara tiri', e-book juga berhasil merangkum point-point tersebut dengan sangat pas. Intinya, secara FUNGSI, e-book dan buku memiliki peran yang sama. Tapi beda secara ESENSI



On 0 komentar

Ada gaya, ada ritma, ada jalan lain untuk bertutur tanpa diksi yang ruwet atau terlalu alay. Kita main di tengahnya. Dialog yang mudah dicerna, menggunakan bahasa yang menyentuh jiwa, yang hidup, dan bermakna, tapi nggak bersulit-sulit ria dengan diksi yang ketinggian.
--Nimas Aksan, SuKer Cendol.
Tips
Nggak pede dengan dialognya? Coba baca ulang, coba diucapkan sendiri, kalau terdengar nggak enak, harus diubah gaya dialognya tanpa mengubah maksud/arti.
Misalnya
gini:
"Hey jono! Apakah kau mau bermain denganku? Telah lama kita tidak bermain bersama."
pas dilafalkan terasa kaku, rubah dengan: "Jono, bermainlah denganku, kita udah ratusan tahun nggak main bareng kan?"

Latih sendiri mengucapkannya sampai terasa enak, dalam dan nggak lebay.

Biasanya yang kulakukan agar dialogku tidak terlalu panjang adalah melafalkan. Ketika kita merasa ngos-ngosan maka pangkas hehehehe (Kasma Maret)

Hindari diksi yang berlebihan; terlalu banyak kiasan berputar-putar tapi pembaca nggak dapet pengertian apa-apa.
Kkalau kita memilih narasi untuk cerpen kita dan tanpa dialog, siapa bilang nggak bisa cerdas? Pemilihan cerpen dengan gaya hanya bernarasi sangatlah beresiko menimbulkan kebosanan, di sini justru diperlukan kelihaian bertutur agar pembaca tetap terbawa cerita dan nggak bosan. 
Buang yang gak perlu, fokuskan dialog pada masalah inti, dan buat dengan hati. Seperti tadi aku bilang, coba dilafalkan olehmu, enak nggak dibacanya. Kalau kamu yang jadi pembaca, enak nggak baca dialogmu?
Jadi penulis, jangan gampang puas dengan hasil apapun, termasuk dialog yang biasa. Gali terus kemampuanmu.
1. Beranikan diri bicara.Bicara apa saja. Nyeletuk juga boleh. dalam acara kumpul-kumpul, jangan diam, cobalah bicara. Kemampuan kita berbicara akan mempengaruhi ekbiasaan kita menulis dialog di tulisan yang kita buat. Lihat komentar ka Prima Sagita.

2. Berlatihlah menulis status yang 'enak dibaca'. Manfaatkan fesbuk, twitter, dll. Buatlah kalimat-kalimat apa saja, nggak harus nasihat atau memiliki makna tapi kalimat asalpun, beranikan tulis! Ini juga melatih kita jadi asik dalam membuat dialog.

3. Sering-sering baca buku, nonton film, dan cermati isi dialog didalamnya.
Saya juga bingung dan agak ga rela ketika naskah saya dipotong-potong editor. Sebelum dipotong editor, alangkah baiknya kita seleksi sendiri mana yang bisa dipotong. Potonglah yang benar-benar tidak penting. kalau semua penting, potonglah yang penting tapi nggak masalah kalo dialog itu nggak ada.

kemarin saya bikin cerpen, ada dialog kernet angkot yang terpaksa saya potong meskipun itu penting menunjukkan tempat tujuan si tokoh udah nyampe.

Contoh Dialog
Apa aku harus mencuri dan menyembunyikan sayapmu, Dewi Drupadi ?”
Aku terheran-heran dengan pertanyaannya. “Mmm..Apa?”
“Supaya kamu tidak usah terbang lagi ke surga
dan meninggalkan aku, kalau perlu aku harus menipu seperti Jaka Tarub untuk bisa memperistrimu.”
(ARYABUAYA)

“Amaya, Aidan telah menunggumu selama dua tahun, dan terus menerus melamarmu tanpa henti sebelum dia kuijinkan menikahimu. Lelaki seperti Aidan, bukan tipe orang yang akan menghilang begitu saja tanpa jejak. Lelaki seperti Aidan, bukan tipe pria yang meninggalkan pengantinnya di malam bulan madu, apapun alasannya, apapun penyebabnya. Kau rela membiarkan dirimu kehilangan dia?
(PAKET BULAN MADU)

“Bukan berarti Ayla tidak suka Ibu di sini, Ayla hanya ingin Ibu berubah. Kita tidak bisa terus menerus lari dan sembunyi, sementara alam menuntut kita bangkit untuk memperbaiki kehancuran apapun yang pernah kita lakukan.”
(SATU TIKET UNTUK KEMBALI)

“Kau anak baik, Rayendra. Dan kau adalah penulis hebat.”
“Kalau bukan karena Tante, aku tidak mungkin berhasil menembus redaksi yang begitu ketat. Kita harus mengantri lama untuk bisa dibaca redaksi.”
“Kalau bukan karena kau penulis yang hebat, karyamu pasti ditolak meskipun aku yang mencoba menembus editornya.”
Rayendra tertawa lebar, tawa yang mengingatkan Diandra pada lelaki yang pernah begitu dicintainya. “Tante selalu bisa membalikkan kata-kata. Aku belum sehebat Tante, kan?”
“Tentu saja, jangan harap semudah itu melampauiku. Tapi ada saatnya nanti pemuda sepertimu menggantikan para sesepuh seperti aku. Ray, ini hanya awal, perjalananmu baru dimulai.”
(PANGERAN MIMPI)

Hidup tak selalu mudah, Agiska, meski kita berlimpah harta. Tempat ini adalah pelarian Mama dikala Mama membutuhkan ketenangan, dikala Mama bosan, dikala Mama bertengkar dengan Papamu, dikala mendung menggelayuti rumah tangga kami. Keluar dari sini, segalanya terasa jauh lebih baik. Mama merasa sedikit nakal dengan berselingkuh di belakang Papamu, membohonginya seolah Mama tak pernah melukis lagi,dan menyembunyikan lukisan dari Papa..Tapi entahlah, rasanya itu membuat Mama jauh lebih hidup.”
(MY SECRET GARDEN)
Seputar Dialog
Sebentar, aku mau jawab ini dulu : Menurut Donatus A. Nugroho, dialog mewakili jamannya ya kakak?
Nggak juga lho kak..Dialog bahkan bisa bertahan dari jaman ke jaman, karena itula
h mengapa saya mencontohkan dialog yang nggak alay dan nggak menggunakan bahasa gaul. Karena dialog-dialog seperti itu, enak dilafalkan, mudah diserap dan dimengerti, dan tetap bertahan dari jaman ke jaman.
bahkan humorpun bisa cerdas...perhatikan film Friends. Atau How I met Your Mother.
Kalo kita berpikir bahwa dialog harus cerdas, secara harfiah, mungkin tidak sepenuhnya benar. Beberapa karakter sengaja kita beri dialog yang konyol dan malah kacau. Jadi dalam hal ini penulis yang dituntut cerdas menciptakan dan menempatkan dialog. (Mas DAN)
Membuat dialog yang cerdas atau cerdas memilih dialog? membuat dialog yang cerdas jelas bisa dilakukan ketika kita sudah bisa cerdas dalam memilih dialog. Kita bisa menggantikan dialog yang biasa aja dengan dialog yang lebih cerdas, dan itu artinya kita sedang membuat dialog yang cerdas berdasarkan pilihan kita. Itu cuma soal perbedaan gaya bertutur aja kan? Dialog cerdas, dengan cerdas memilih dialog. Karena dialog yang cerdas dihasilkan dari pemilihan dialog yang kita lakukan. 
Berarti dialog tepat dengan karakter yang pas. Misal, kita beri dialog tentang mengingatkan makan kepada karakter yang kita buat males makan. (Kasma Maret)

On 0 komentar

Baru selesai nonton film GOD BLESS AMERICA. Dan saya buru-buru pengen menulis, bukan menulis review tentang filmnya yang super keren, tapi tentang pesan yang saya tangkap serta kebersinggungan jalan cerita film ini dengan makna berkelahi.

Apakah pernah terbersit untuk membunuh seseorang? Seseorang yang sangat menjengkelkan? Siapa yang paling ingin kalian bunuh? Seseorang yang songong? Yang tak tahu adat? Yang menyampaikan kebenaran dengan cara yang salah? Yang menggurui dengan bekal ilmu yang sangat sedikit? Yang sok?

Let me "curcol"! Sebagian masa kecil saya (sebagian kecil saja) dihabiskan untuk pergi jauh dari seorang bocah bernama "X", bocah yang sangat tidak fun untuk jadi teman bermain. Suka ngajak berantem, kalo ngomong suka nyelekit dan nusuk-nusuk. Sebagian kecil masa SMP, juga saya habiskan untuk pergi jauh dari seorang bernama "Y", teman yang otoriter dan suka maksa.

Suatu malam, berpuluh tahun lalu. Bocah X ngejek keluarga saya, dan itu sangat teramat OOT (bukan out of topic, but OUT OF TOLERANCE) kejadian itu mengambil setting depan rumah bocah X. I don't Fuc**ng care! Kalian tahu, atau sudah merasakan? Bagaimana besarnya makna keluarga? Dan ketika ada seseorang yang berani main-main dengan "daerah" itu, maka semua ketakutan hilang, berganti dengan amarah yang memuncak, tak terkecuali bagi bocah SD. Kami berkelahi, saya ingat betul kepala bocah X berdarah karena hantaman batu. Kakaknya datang dan memukul rahang saya, bapaknya juga mendekat, beliau telah mengambil ancang-ancang buat mukul, tapi ga jadi. Dan ... kejadian malam itu, ternyata berhasil mengubah prangai bocah X terhadap saya. Berkelahi bisa mengubah seseorang menjadi sahabat kecil yang fun.
 
Lama ... saya hampir bisa memastikan kalau jumlah perkelahian saya bisa dihitung dengan jari. Termasuk dengan teman Y yang otoriter. Kami tak pernah diberi kesempatan buat berkelahi. Kalian tahu? Dia kecelakaan setelah kami menginjak SMA. Kakinya tidak normal lagi. Kecelakaan ternyata bisa mengubah seseorang menjadi sahabat yang fun. Saya akui saya berdo'a untuk itu. Berdo'a agar dia celaka, meski akhirnya saya sesali ketidak-gentle-an saya.

Masa SMA saya beruntung bisa berada di lingkungan yang orang-orangnya pada nurut, bahkan disuruh belajar tambahan sampe malem juga mau. Ga ada yang berani ngomong kalau guru lagi marah (bandingkan dengan guru di sinetron). Intinya, masa SMA minim konflik, teman-temannya pada fun. Tapii ... (selalu ada "tapi") ada guru akutansi (hai Pak Yunidi hehe) entahlah ada apa dengan beliau? Kenapa seperti mencari-cari kesalahan saya. Saya benci jam pelajaran akutansi! Mau berkelahi? Ah ... kualat, lagian keberanian saya belum se-extrim itu. Apa berkahnya? Saya berhasil tembus perguruan tinggi negeri. Gara-gara ingin membuktikan kalau saya ga sebodoh yang beliau kira. Walau tetap bodoh pelajaran akutansi ... sampe sekarang.

Kuliah? Saya dulu sempat berjanji, akan membunuh karakter salah satu dosen saya di tiap novel yang nanti saya buat. Dan ... sampe sekarang ga ada satu novelpun yang rampung.

Kerja? Pasti pernah ketemu pelanggan yang super nyebelin? Beruntung pernah baca-baca buku bisnis dan pengembangan karakter, jadi tiap kali mau marah? Ga jadi, apalagi sampe berkelahi. Cuma keributan kecil.

Hmm ... kita masuk ending nih. Saya ga pernah niat buat berkelahi. Semua perkelahian adalah sebuah "adegan tak terhindarkan". Kadang nyesal, kadang disyukuri. Mau berkelahi? Pikir-pikir dulu! Atau jangan kelamaan mikir? *ups

On 2 komentar

Berapa jauh kau akan pergi? Ratusan kilo? Kamu tega. Aku merindumu, bahkan jika selisih jarak kulit kita hanya selebar dua jari kelingking. Kau memotong hatiku menjadi dua bagian. Sebagian lantang berteriak JANGAN PERGI. Sebagian lainnya, mati-matian mendukung pilihanmu.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Satu siklus lebaran? Kamu kejam. Aku merindumu, bahkan belum sempat karbon dioksida keluar dari hidung kita. Satu tarikan napas. Kau melukis hatiku dengan tinta hitam putih. Sebelah kau biarkan menyala terang dengan cinta dan kasih. Sebelahnya lagi, kau biarkan gosong dalam cemas dan ketar-ketir.

Berapa berat renjana yang mesti kita gotong? Seberat gunung?
Berapa harum?
Berapa tinggi?

Cinta ... jika kau mendengar desah napas saat sepi, kita akan bertemu. Jika kau menatap bola mata yang sesekali kerjap atas laut dan hutan di sekelilingmu, cinta sedang berkomplot menemukan kita. Tak peduli jauh, lama, berat, tinggi dll. Berapa saja, yah ... berapa saja!