blognya iman safri lukman

tulis apapun!!

belajar nge-blog dengan hati..

User Login

On 0 komentar

Menulis itu melelahkan. Benar. Kadang bikin kesel. Betul. Itulah payahnya saya, menulis butuh mood yang baik, ga bisa dipaksain. Kalaupun dipaksain, ga bakal sempurna. Menulis itu ga bisa menunggu. Saya bukan manusia yang bisa menampung ide-ide untuk diendapkan, saya tipe penulis yang spontan. (halah bahasamu masbroh).

Sekarang, menulis itu adalah berjuang. Saya tak bisa menunda mimpi-mimpi saya lagi. Takut keburu mati. Menulis itu pembuktian. Bahwa saya bisa hidup dari menulis, bahwa saya bisa bekerja pada bidang yang sangat saya cintai. Dan terakhir ... menulis itu pengabaian. Orang-orang yang mencibir pekerjaan ini, takkan pernah mengetahui betapa dahsyatnya menjadi penulis. Ini hanya masalah keteguhan pilihan. Dan silahkan, orang-orang bodoh yang tak pernah mau mengerti, orang-orang dangkal yang tak pernah bisa memahami. Sebaiknya kalian pikirkan bagaimana mengurus hidupmu sendiri.

Apa yang tidak ada hubungan sebab-akibat di dunia ini? Nafasmu yang kau hirup, adalah sebab tubuhmu butuh oxigen yang cukup. Palanet-planet yang berputar, awan-awan yang mendung, spora-spora yang melayang, hingga atom dan hal kecil yang tak pernah kita lihat. Semua bekerja pada hukum kausatif. Begitu juga sebuah perjuangan, saya pasti akan mengetahui akibat apa yang ditimbulkan dari tiap usaha saya.

Saya yakin Tuhan tahu, meski tulisan ini tak pernah dipublikasikan. Biarkan DIA merancang sesuai kehendak-Nya. Dan tugas saya hanya berjuang, memperjuangkan apa yang saya anggap baik dan sangat wajar. Biarkan Tuhan menentukan mimpi saya hendak dibawa kemana. Tugas saya hanya menjalankan mimpi tersebut, agar dia menjadi nyata suatu saat.

Sebenarnya, tulisan ini hanya motivasi. Nanti, jika semangatku telah berkurang, saya akan mengunjungi tulisan ini. Bahwa seorang Iman Safri Lukman, pernah berjanji untuk mewujudkan mimpinya lebih cepat.

Baiklah, anggap saja nanti saya berhasil mewujudkan mimpi. Hahaha. Senang? Mungkin. Saya tak ingin melihat keberhasilan mimpi saya dari segi bahagianya saja. Menjadi seorang penulis nasional sedikit banyak akan membuatmu menjadi public figure (jiaahhh mungkin ga se cetar membahana artess sehhh) Dan jadi terkenal juga bukan mimpi saya.

Wow. Iman Safri udah terkenal. Menyedihkan. Saya mungkin tak bisa lagi nulis seperti ini. Orang-orang yang nge-fans (uhuuuyyy) akan mencari-cari informasi tentang saya. Oh ternyata dulu, iman itu tukang lemer, pernah jaga warnet, pernah jaga rumah makan. Oh iman itu dulu drop out dari kuliahnya, oh keluarganya miskin, oh belum nikah-nikah de el el. Ga apa-apa, itu bukan sesuatu yang memalukan. Yang menyedihkan adalah ... ketika saya ga bisa lagi memposting tulisan-tulisan yang baunya personal dan curhat. Public figure boooo masak curhat mulu. Loe liat aja blog-blog penulis hebat, jarang--bahkan mungkin ga ada--yang curhat-curhatan kek gini.

Sebenarnya jadi orang awam saja udah ga baik posting hal-hal privasi ke ranah maya, apa lagi public figure? Makanya, sebelum saya terkenal, saya ga mau nyia-nyian kesempatan buat nulis apapun yang saya suka. :P

Ahh ... lumayan capek dan lega. Itulah untungnya jadi orang awam, loe ga butuh capek-capek buat edit tulisan di blog. haha. bayangin kalo loe artis? Salah dikit bisa masuk infotaintment (bener ga sih tulisan inpotainmen). Oke itu ceritaku, mana ceritamu? *iklan indomie

---
Untuk hati yang masih berjuang, kita sebaiknya meminta luka dan airmata terlebih dahulu. Agar kelak kita bisa menjadi hati yang lebih bersyukur. Demi mimpi, semoga hatiku bukan termasuk ke golongan hati yang mudah menyerah dan kalah. Sastra ai lop yu.

On 1 komentar

Engkau yang dianugrahi paras cantik, jika tak pernah kau syukuri, maka kecantikanmu akan bermetamorfosa menjadi kutukan. Bayangkan, berapa banyak laki-laki yang minder untuk mendekatimu? Laki-laki yang usaha maksimal untuk mendapatkanmu hanyalah ... diam. Mengagumimu, tanpa tahu harus berbuat apa. Berapa banyak laki-laki baik yang merasa belum pantas untukmu? Berapa banyak laki-laki yang tidak takut terluka, tapi tak punya keberanian untuk mengusik keindahanmu?

Engkau yang dianugrahi paras cantik, jika tak pernah kau sadari, maka kecantikanmu adalah "trigger" kejahatan; laki-laki hidung belang, bos-bos berduit, penjahat kelamin, atau perempuan-perempuan iri. Saudariku, jangan pernah beranggapan bahwa kecantikanmu adalah sebuah pemakluman, agar kau bisa meng-exlusive-kan diri. Jangan pernah membiarkan dirimu lupa, bahwa kecantikan sifatnya temporer. Tak ada salahnya mensyukuri, dan tak ada gunanya bergaul dengan kasta tertentu. Tak ada buruknya menyadari, bahwa sifat santun, adalah kecantikanmu yang niscaya. Serta tak ada baiknya berbangga atas paras cantimu yang sementara.

Engkau yang dianugrahi paras cantik, kelak, kau akan tahu, tak ada yang mampu menyelamatkan wajah cantikmu dari waktu dan usia.

Dan ...

Wahai engkau yang BERHATI cantik, tak perlu ragu, orang-orang baik akan selalu menyayangimu. Bahkan Tuhan, telah menjanjikanmu kebahagiaan atas kecantikan hatimu. Jangan pernah berkecil hati, di mata orang-orang baik, engkau lebih cantik dari apapun. Berbahagialah!

On 0 komentar

Baiklah, daun-daun jatuh. Ranting-ranting melemah. Taman-taman disesaki oleh cahaya. Ini mungkin musim gugur yang paling kau tunggu. Karena air matamu hangat seperti cuaca saat ini. Dan bangku taman yang biasa sepi saat musim dingin, akan kewalahan menjamu pengunjung setia.

Maafkan aku, telah memperlakukanmu seperti ini. Aku semestinya menjadi lelaki yang mantap memutuskan. Masih kuingat kalimat terakhir yang kau lontarkan "Kak, ini bukan tempatmu singgah, bermain-main dan pergi, ini hati kak! Ia tumbuh dengan perasaan yang sangat rentan terluka."

Tak ada niat mempermainkanmu, sungguh! Aku hanya ingin menyintaimu dengan jujur. Kita masih berproses menjadi pelengkap bagi masing-masing. Menjadi pengisi bagian rumpang sebagai sepasang hati yang mengerti. Tak ada niat meninggalkanmu, sungguh! Aku hanya ingin pergi sementara, menenangkan diri, berusaha memahamimu. Memberimu waktu untuk memutuskan, bertahan dengan laki-laki menyebalkan ini, atau berusaha mencari hati yang bisa membuatmu lebih bahagia.

Baiklah, daun-daun jatuh. Ranting-ranting melemah. Taman-taman disesaki oleh cahaya. Ini musim gugur yang kutunggu. Karena alam akan membawmu ke taman ini, duduk di bangku taman, dengan sebuah novel tebal kesukaanmu. Aku melihatmu, dan sepertinya kau terlalu bahagia untuk kuganggu dengan sekedar sapaan "Hai, apa kabar?"

Karena aku tahu, kabarmu jauh lebih baik tanpaku. Selamat jalan, semoga musim gugur ini lebih lama, aku ingin menjagamu dari sini--tempat yang tak kau ketahui.

On 0 komentar

Ternyata, jatuh cinta itu seperti melihat pelangi. Kau hanya melihat keindahan sebuah lengkung warna-warni. Padahal, itu hanya keterbatasan matamu menatapnya, andai saja kau pergi ke tempat yang lebih tinggi, kau akan dapati, bahwa bentuk pelangi utuh adalah ... lingkaran. Artinya apa, lingkaran tersebut adalah bentuk lain dari perasaan jatuh cinta, bisa jadi ia baik atau sebaliknya.

Sejatinya, cahaya matahari itu polikromatik (terdiri dari banyak warna) kenapa yang tampak hanya warna putih? Saat kau jatuh cinta, partikel air akan membantumu menatap mejikuhibiniu. Tapi sebenarnya, masih ada warna lain yang tak seluruhnya mampu tertatap oleh matamu.

Kita, sebagai mahluk berhati yang tak pernah tahu rahasia Allah. Tapi kita adalah mahluk dengan akal dan logika untuk mewaspadai dan berhati-hati. Sungguhpun, jatuh cinta adalah hal yang tak bisa dihindari.

Ada nuansa. Perbedaan tipis antara cinta dan perasaan buta. Seperti gradasi warna pelangi yang dengan lembut menghapus kontras perbedaan mereka, semoga hati kita lebih jeli berdo’a, meminta kepada siapa hati kita dijatuhkan.

Tuhan memberikan keberanian kepada kita untuk membuka hati, untuk dengan yakin dan teguh menentukan pilihan. Seperti warna merah yang DIA hadiahi gelombang yang lebih panjang, agar letakknya di warna pertama. Dan memberi frekuansi yang lebih tinggi pada warna ungu, agar ia berada di akhir warna. Sebagai bentuk kewaspadaan.

***

Apa yang lebih utopis dan fiktif dari lagu cinta dan puisi asmara? Pelangi telah menyadarkanku, bahwa sedikit banyak, kita bisa mengendalikan hati untuk terjatuh dengan benar. Tak seperti apa yang digambarkan penyair dan syair lagu. Realitas tak butuh dramatisasi.

On 0 komentar




"Suatu hari aku akan ke sini!" Telunjukmu menjurus pada sebuah gambar--sepertinya deretan pohon cherry blossom--di komputer.
"Ini pohon apa? Mirip sakura kalau dari jauh."
"Bukaan ...! Sakura kan di jepang, ini di Daejun, korsel tauk!"
"Iya pohon apa? Trus kenapa pengen ke sana?"
"Ga tau pohon apa, pengen aja!"
"Kalau ga bisa?"
"Pasti bisa!"
Kemudian kita sama-sama diam untuk beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kau mungkin sedang bermimpi tentang musim semi atau gugurnya, aku hanya memikirkan bagaimana bisa membuat taman seindah itu, agar kau tetap di sini.

On 0 komentar

 

            Jika hati adalah planet-planet yang terpisah. Maka cinta adalah gravitasi. Yang akan selalu menarikmu. Menemukanmu pada seseorang dan memaksamu terjatuh. Melayang-layang. Bahkan mungkin kau tak tahu lagi, mana perasaan buta atau logika.
            Jika hati adalah daun-daun. Maka cinta adalah bius yang memaksamu gugur. Menemui tanah dibawahmu. Menjadi humus. Yang tak pernah mampu melawan cinta. Yang pasrah pada tiap ketentuan. Hatimu adalah daun-daun dengan gravitasi yang tak pernah telat sedetikpun. Tak ada cinta yang terlambat, manusialah yang tergesa-gesa.
            Jika hati adalah butir-butir hujan. Maka ia akan menuntunmu menemukan cinta yang tepat. Dan kau takkan mampu mengelak, jika potongan hatimu ditemukan pada seorang tukang becak, anak presiden, atau dia. Gravitasi memengaruhi kecepatan gerak, dan ketepatan letak.

***

            Bahwa gravitasi telah menyesatkan matamu di kalimat ini. Aku hargai. Maukah kau kuajak berenang pada sebuah kisah? Cerita klise yang telah dikisahkan berulang kali. Yah, tentang cinta. Bahkan mugkin lebih sederhana dari kisah cinta manapun.
            Namun ....
            Terkadang hati adalah antariksa, dimana sedikit sekali gravitasi yang berpengaruh. Bahwa pada kondisi dan waktu tertentu, ada pengecualian untuk berjuta kisah klise tersebut.
            Bahwa hati adalah bumi—termasuk pengaruh rotasi dan revolusi—bisa menyebabkan beberapa anomali. Ketidaknormalan.



On 0 komentar

Manja kau mendekat, duduk disampingku yang sedang menikmati hujan dengan secangkir puisi. Dan ... kau mulai memcah musik rintik di atap rumah kita, membelahnya dengan sebuah tanya "Mana yang lebih kau sayang? Aku? atau Puisi?"

Jeda sesaat, hujan mendadak turun dengan gerak lambat dan putus-putus.

"Puisi." Aku tersenyum, dan kau pergi meninggalkanku, tanpa pernah TAHU, bahwa puisiku adalah ... kamu.

***

Aku mendekatimu yang sedang menunggu kereta, aku TAHU, diam-diam kau membeli sebungkus puisi sebelum kau tiba di stasiun ini. Kekesalanmu memberiku kekuatan untuk mengubah diriku menjadi orang asing di mata yang kau punya. Duduk di sampingmu. Meletakkan sebungkus puisi yang kuracik sendiri, aku TAHU ini puisi kesukaanmu, bahkan sama persis dengan yang kau beli tadi.

Kau diam, ketika kubaca setengah bait pertama. Tatap matamu mengisyaratkan bahwa kau tak rela puisi ini terbagi. Lantas, kau menghabiskan setengahnya lagi. Kubaca setengah lagi, kau lanjutkan. begitu seterusnya. Hingga tersisa satu kalimat terakhir, aku memotongnya dua. Menyerahkan setengahnya padamu.

Aku TAHU, kau menggerutu. Hingga kereta tiba, dan kita kembali terpisah.

***

Seorang wanita menatap kosong di salah satu kursi penumpang kereta, matanya menghangat. Tangan mungilnya masih menimang-nimang sebungkus puisi utuh. "Bodoh, tadi ... bukan puisiku!"

Terlambat, kereta telah sangat jauh membawamu tersesat.

On 0 komentar

Seperti serabut emosi yang berpilin, saling mengikat rasa dengan kejutan listrik warna biru, aku gila. Gila mengamati mereka bolak-balik dalam neuron super kecil. Mengantarkan berjuta pesan untuk disampaikan. Dan dari berjuta pesan yang mereka bawa, ada sebungkus surat tentang hujan, tercecer menyentuh batang-batang glia. Sebuah prangko dengan gambar buku tebal, terpojok di sudut kanan surat. Meringkuk.

Ooh ... Tuhan, betapa sebuah kepedihan begitu cepat menjamur. Merayap dari sebuah amplop yang lancang kubuka. Sebagaimana sebab glia dan neuron tercipta, mereka menyampaikan pesan padaku, tentang kepedihan yang begitu limbung diterjemahkan oleh otak kecil. Anehnya, area lapisan abu-abu dengan milyaran neuron, mendadak berhenti. Memahami kepedihan saat sebuah kata terucap, berdesis di bibir yang mengucap sebuah nama.

Dan sepersekian detik, mereka kembali mengalirkan pulsa listrik seperti biasa. Hingga berhenti pada saraf kecil di dua buah mata, memaksanya berkaca-kaca.

On 0 komentar

kepada otak
Ini puisi? Bukan!
orang-orang cerdas, memelintir ketidaktahuan
menyembunyikan segelas kopi
hingga rasa telah tertidur dalam dengkur.

Hei ... dengkur tak COCOK, bodoh!
baiklah, aku menyoret setengah kalimatku.

kepada rasa
Bukan, ini puisi.
beberapa pasang bidadari timbul tenggelam dalam segelas kopi
butir-butir ampas hitam, lengket di selendang-tipis tubuh mereka
hingga terjaga menemaniku menulis tidurmu

kepada hujan
Ini bukan puisi.
Aku ingin kau turun, biar basah seluruh tanah
aku ingin kau berduyun, hingga bidadari tertidur
lelap dalam tumpukan uap kopi yang menebal seperti kabut
dan terbangun saat orang cerdas, membacakan bait puisi terakhirnya.

kepada otak hujan rasa
ada dua hemisfer utama yang membagi tidurmu dalam otak: Utara atau Selatan? 

On 0 komentar

Nak, kelak jika engkau telah bisa membacakan Ayah sebuah dongeng, maukah kau membaca dari buku sebenarnya? Karena Ayah ingin mendengar suara gerisik ketika kau membuka halamannya. Karena Ayah ingin ujung telunjukkmu merasakan 'kasar' permukaan kertas, atau hidung kita mencium bau khas dari tinta huruf-hurufnya.

Aku mengajakmu membaca sebuah surat yang kutulis. Berharap jika nanti menjadi seorang ayah, surat ini akan kutitipkan pada buah hati yang (mungkin) tak lagi tahu bentuk buku seperti apa. Di Amerika Serikat, buku elektronik banyak dicari di perpustakaan. Benda ini telah bertransformasi menjadi e-book. Sepintas, perubahan ini seperti 'angin segar' bagi kemajuan media informasi (khususnya media berbentuk tulisan), dari yang konvensional menjadi online dan modern. Tapi, fenomena ini seperti memotong esensi murni sebuah buku.

bu·ku n lembar kertas yg berjilid, berisi tulisan atau kosong

See? Kamus Besar Bahasa Indonesia saja seperti terlihat 'kuno' dengan mendefinisikan makna buku. Dan bila itu dibenarkan, maka aku memilih menjadi kuno dan mengajak anakku kelak ikut kuno. Ada rasa kepemilikkan yang lebih menonjol ketika kita memegang buku dibandingkan membaca e-book. Jika boleh saya menyimpulkan; e-book adalah kemajuan penemuan, sekaligus kemunduran esensi dari buku itu sendiri.

Mengapa saya menganggap ini esensial? Karena buku kehilangan hakikatnya sebagai buku. Bukan karena buku dan e-book bisa dibaca, lantas itu sama, melainkan buku telah berubah menjadi sesuatu yang 'jauh' dari pemiliknya. Tidakkah kita merasakan kehilangan esensi di sana? Buku bisa membuat mata kita berkaca-kaca ketika membca sebuah novel yang mengharukan, tapi e-book membuat mata kita jauh lebih sering berkaca-kaca karena perih menatap layar terlalu lama.

Tenang, Nak. Ayah telah membuatkanmu sebuah perpustakaan sederhana di rumah kita. Kau bisa sering-sering ke sana. Menyaksikan benda petak penuh lembar kata, tersusun berjejer-bertumpuk di rak-raknya. Bukan di dalam file PC, atau dokumen handphone.

Rendahnya biaya produksi e-book dibandingkan dengan buku, distribusi dan pemasaran yang juga relatif mudah. Membuat e-book lebih 'menggairahkan' bagi produsen dan pembaca yang mementingkan hal-hal instant. Internet telah membuat manusia malas 'bergerak' semua bisa mereka lakukan dengan online; mulai dari beli buku, download, transfer uang dll. Dan lambat-laun, budaya ini bisa memangkas bisnis buku. Bayangkan! Suatu saat nanti kita tak bisa lagi melihat percetakan, penerbitan, distributor, toko buku, launching, pengantar koran pagi-pagi, atau setengah lembar tabloid yang menjadi bungkus gado-gado.


Ini tentang buku sebenarnya
Buku, sejatinya diciptakan sebagai sarana penyampaian; gagasan, ilmu, emosi, bahkan doktrin sekalipun. Sama halnya dengan si 'saudara tiri', e-book juga berhasil merangkum point-point tersebut dengan sangat pas. Intinya, secara FUNGSI, e-book dan buku memiliki peran yang sama. Tapi beda secara ESENSI