tulis apapun!!

belajar nge-blog dengan hati..

User Login

On 0 komentar

Manja kau mendekat, duduk disampingku yang sedang menikmati hujan dengan secangkir puisi. Dan ... kau mulai memcah musik rintik di atap rumah kita, membelahnya dengan sebuah tanya "Mana yang lebih kau sayang? Aku? atau Puisi?"

Jeda sesaat, hujan mendadak turun dengan gerak lambat dan putus-putus.

"Puisi." Aku tersenyum, dan kau pergi meninggalkanku, tanpa pernah TAHU, bahwa puisiku adalah ... kamu.

***

Aku mendekatimu yang sedang menunggu kereta, aku TAHU, diam-diam kau membeli sebungkus puisi sebelum kau tiba di stasiun ini. Kekesalanmu memberiku kekuatan untuk mengubah diriku menjadi orang asing di mata yang kau punya. Duduk di sampingmu. Meletakkan sebungkus puisi yang kuracik sendiri, aku TAHU ini puisi kesukaanmu, bahkan sama persis dengan yang kau beli tadi.

Kau diam, ketika kubaca setengah bait pertama. Tatap matamu mengisyaratkan bahwa kau tak rela puisi ini terbagi. Lantas, kau menghabiskan setengahnya lagi. Kubaca setengah lagi, kau lanjutkan. begitu seterusnya. Hingga tersisa satu kalimat terakhir, aku memotongnya dua. Menyerahkan setengahnya padamu.

Aku TAHU, kau menggerutu. Hingga kereta tiba, dan kita kembali terpisah.

***

Seorang wanita menatap kosong di salah satu kursi penumpang kereta, matanya menghangat. Tangan mungilnya masih menimang-nimang sebungkus puisi utuh. "Bodoh, tadi ... bukan puisiku!"

Terlambat, kereta telah sangat jauh membawamu tersesat.

On 0 komentar

Seperti serabut emosi yang berpilin, saling mengikat rasa dengan kejutan listrik warna biru, aku gila. Gila mengamati mereka bolak-balik dalam neuron super kecil. Mengantarkan berjuta pesan untuk disampaikan. Dan dari berjuta pesan yang mereka bawa, ada sebungkus surat tentang hujan, tercecer menyentuh batang-batang glia. Sebuah prangko dengan gambar buku tebal, terpojok di sudut kanan surat. Meringkuk.

Ooh ... Tuhan, betapa sebuah kepedihan begitu cepat menjamur. Merayap dari sebuah amplop yang lancang kubuka. Sebagaimana sebab glia dan neuron tercipta, mereka menyampaikan pesan padaku, tentang kepedihan yang begitu limbung diterjemahkan oleh otak kecil. Anehnya, area lapisan abu-abu dengan milyaran neuron, mendadak berhenti. Memahami kepedihan saat sebuah kata terucap, berdesis di bibir yang mengucap sebuah nama.

Dan sepersekian detik, mereka kembali mengalirkan pulsa listrik seperti biasa. Hingga berhenti pada saraf kecil di dua buah mata, memaksanya berkaca-kaca.

On 0 komentar

kepada otak
Ini puisi? Bukan!
orang-orang cerdas, memelintir ketidaktahuan
menyembunyikan segelas kopi
hingga rasa telah tertidur dalam dengkur.

Hei ... dengkur tak COCOK, bodoh!
baiklah, aku menyoret setengah kalimatku.

kepada rasa
Bukan, ini puisi.
beberapa pasang bidadari timbul tenggelam dalam segelas kopi
butir-butir ampas hitam, lengket di selendang-tipis tubuh mereka
hingga terjaga menemaniku menulis tidurmu

kepada hujan
Ini bukan puisi.
Aku ingin kau turun, biar basah seluruh tanah
aku ingin kau berduyun, hingga bidadari tertidur
lelap dalam tumpukan uap kopi yang menebal seperti kabut
dan terbangun saat orang cerdas, membacakan bait puisi terakhirnya.

kepada otak hujan rasa
ada dua hemisfer utama yang membagi tidurmu dalam otak: Utara atau Selatan?