Menulis itu melelahkan. Benar. Kadang bikin kesel. Betul. Itulah payahnya saya, menulis butuh mood yang baik, ga bisa dipaksain. Kalaupun dipaksain, ga bakal sempurna. Menulis itu ga bisa menunggu. Saya bukan manusia yang bisa menampung ide-ide untuk diendapkan, saya tipe penulis yang spontan. (halah bahasamu masbroh).
Sekarang, menulis itu adalah berjuang. Saya tak bisa menunda mimpi-mimpi saya lagi. Takut keburu mati. Menulis itu pembuktian. Bahwa saya bisa hidup dari menulis, bahwa saya bisa bekerja pada bidang yang sangat saya cintai. Dan terakhir ... menulis itu pengabaian. Orang-orang yang mencibir pekerjaan ini, takkan pernah mengetahui betapa dahsyatnya menjadi penulis. Ini hanya masalah keteguhan pilihan. Dan silahkan, orang-orang bodoh yang tak pernah mau mengerti, orang-orang dangkal yang tak pernah bisa memahami. Sebaiknya kalian pikirkan bagaimana mengurus hidupmu sendiri.
Apa yang tidak ada hubungan sebab-akibat di dunia ini? Nafasmu yang kau hirup, adalah sebab tubuhmu butuh oxigen yang cukup. Palanet-planet yang berputar, awan-awan yang mendung, spora-spora yang melayang, hingga atom dan hal kecil yang tak pernah kita lihat. Semua bekerja pada hukum kausatif. Begitu juga sebuah perjuangan, saya pasti akan mengetahui akibat apa yang ditimbulkan dari tiap usaha saya.
Saya yakin Tuhan tahu, meski tulisan ini tak pernah dipublikasikan. Biarkan DIA merancang sesuai kehendak-Nya. Dan tugas saya hanya berjuang, memperjuangkan apa yang saya anggap baik dan sangat wajar. Biarkan Tuhan menentukan mimpi saya hendak dibawa kemana. Tugas saya hanya menjalankan mimpi tersebut, agar dia menjadi nyata suatu saat.
Sebenarnya, tulisan ini hanya motivasi. Nanti, jika semangatku telah berkurang, saya akan mengunjungi tulisan ini. Bahwa seorang Iman Safri Lukman, pernah berjanji untuk mewujudkan mimpinya lebih cepat.
Baiklah, anggap saja nanti saya berhasil mewujudkan mimpi. Hahaha. Senang? Mungkin. Saya tak ingin melihat keberhasilan mimpi saya dari segi bahagianya saja. Menjadi seorang penulis nasional sedikit banyak akan membuatmu menjadi public figure (jiaahhh mungkin ga se cetar membahana artess sehhh) Dan jadi terkenal juga bukan mimpi saya.
Wow. Iman Safri udah terkenal. Menyedihkan. Saya mungkin tak bisa lagi nulis seperti ini. Orang-orang yang nge-fans (uhuuuyyy) akan mencari-cari informasi tentang saya. Oh ternyata dulu, iman itu tukang lemer, pernah jaga warnet, pernah jaga rumah makan. Oh iman itu dulu drop out dari kuliahnya, oh keluarganya miskin, oh belum nikah-nikah de el el. Ga apa-apa, itu bukan sesuatu yang memalukan. Yang menyedihkan adalah ... ketika saya ga bisa lagi memposting tulisan-tulisan yang baunya personal dan curhat. Public figure boooo masak curhat mulu. Loe liat aja blog-blog penulis hebat, jarang--bahkan mungkin ga ada--yang curhat-curhatan kek gini.
Sebenarnya jadi orang awam saja udah ga baik posting hal-hal privasi ke ranah maya, apa lagi public figure? Makanya, sebelum saya terkenal, saya ga mau nyia-nyian kesempatan buat nulis apapun yang saya suka. :P
Ahh ... lumayan capek dan lega. Itulah untungnya jadi orang awam, loe ga butuh capek-capek buat edit tulisan di blog. haha. bayangin kalo loe artis? Salah dikit bisa masuk infotaintment (bener ga sih tulisan inpotainmen). Oke itu ceritaku, mana ceritamu? *iklan indomie
---
Untuk hati yang masih berjuang, kita sebaiknya meminta luka dan airmata terlebih dahulu. Agar kelak kita bisa menjadi hati yang lebih bersyukur. Demi mimpi, semoga hatiku bukan termasuk ke golongan hati yang mudah menyerah dan kalah. Sastra ai lop yu.
Engkau yang dianugrahi paras cantik, jika tak pernah kau syukuri, maka kecantikanmu akan bermetamorfosa menjadi kutukan. Bayangkan, berapa banyak laki-laki yang minder untuk mendekatimu? Laki-laki yang usaha maksimal untuk mendapatkanmu hanyalah ... diam. Mengagumimu, tanpa tahu harus berbuat apa. Berapa banyak laki-laki baik yang merasa belum pantas untukmu? Berapa banyak laki-laki yang tidak takut terluka, tapi tak punya keberanian untuk mengusik keindahanmu?
Engkau yang dianugrahi paras cantik, jika tak pernah kau sadari, maka kecantikanmu adalah "trigger" kejahatan; laki-laki hidung belang, bos-bos berduit, penjahat kelamin, atau perempuan-perempuan iri. Saudariku, jangan pernah beranggapan bahwa kecantikanmu adalah sebuah pemakluman, agar kau bisa meng-exlusive-kan diri. Jangan pernah membiarkan dirimu lupa, bahwa kecantikan sifatnya temporer. Tak ada salahnya mensyukuri, dan tak ada gunanya bergaul dengan kasta tertentu. Tak ada buruknya menyadari, bahwa sifat santun, adalah kecantikanmu yang niscaya. Serta tak ada baiknya berbangga atas paras cantimu yang sementara.
Engkau yang dianugrahi paras cantik, kelak, kau akan tahu, tak ada yang mampu menyelamatkan wajah cantikmu dari waktu dan usia.
Dan ...
Wahai engkau yang BERHATI cantik, tak perlu ragu, orang-orang baik akan selalu menyayangimu. Bahkan Tuhan, telah menjanjikanmu kebahagiaan atas kecantikan hatimu. Jangan pernah berkecil hati, di mata orang-orang baik, engkau lebih cantik dari apapun. Berbahagialah!
Baiklah, daun-daun jatuh. Ranting-ranting melemah. Taman-taman disesaki oleh cahaya. Ini mungkin musim gugur yang paling kau tunggu. Karena air matamu hangat seperti cuaca saat ini. Dan bangku taman yang biasa sepi saat musim dingin, akan kewalahan menjamu pengunjung setia.
Maafkan aku, telah memperlakukanmu seperti ini. Aku semestinya menjadi lelaki yang mantap memutuskan. Masih kuingat kalimat terakhir yang kau lontarkan "Kak, ini bukan tempatmu singgah, bermain-main dan pergi, ini hati kak! Ia tumbuh dengan perasaan yang sangat rentan terluka."
Tak ada niat mempermainkanmu, sungguh! Aku hanya ingin menyintaimu dengan jujur. Kita masih berproses menjadi pelengkap bagi masing-masing. Menjadi pengisi bagian rumpang sebagai sepasang hati yang mengerti. Tak ada niat meninggalkanmu, sungguh! Aku hanya ingin pergi sementara, menenangkan diri, berusaha memahamimu. Memberimu waktu untuk memutuskan, bertahan dengan laki-laki menyebalkan ini, atau berusaha mencari hati yang bisa membuatmu lebih bahagia.
Baiklah, daun-daun jatuh. Ranting-ranting melemah. Taman-taman disesaki oleh cahaya. Ini musim gugur yang kutunggu. Karena alam akan membawmu ke taman ini, duduk di bangku taman, dengan sebuah novel tebal kesukaanmu. Aku melihatmu, dan sepertinya kau terlalu bahagia untuk kuganggu dengan sekedar sapaan "Hai, apa kabar?"
Karena aku tahu, kabarmu jauh lebih baik tanpaku. Selamat jalan, semoga musim gugur ini lebih lama, aku ingin menjagamu dari sini--tempat yang tak kau ketahui.
"Ini pohon apa? Mirip sakura kalau dari jauh."
"Bukaan ...! Sakura kan di jepang, ini di Daejun, korsel tauk!"
"Iya pohon apa? Trus kenapa pengen ke sana?"
"Ga tau pohon apa, pengen aja!"
"Kalau ga bisa?"
"Pasti bisa!"
Kemudian kita sama-sama diam untuk beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kau mungkin sedang bermimpi tentang musim semi atau gugurnya, aku hanya memikirkan bagaimana bisa membuat taman seindah itu, agar kau tetap di sini.
Manja kau mendekat, duduk disampingku yang sedang menikmati hujan dengan secangkir puisi. Dan ... kau mulai memcah musik rintik di atap rumah kita, membelahnya dengan sebuah tanya "Mana yang lebih kau sayang? Aku? atau Puisi?"
Jeda sesaat, hujan mendadak turun dengan gerak lambat dan putus-putus.
"Puisi." Aku tersenyum, dan kau pergi meninggalkanku, tanpa pernah TAHU, bahwa puisiku adalah ... kamu.
***
Aku mendekatimu yang sedang menunggu kereta, aku TAHU, diam-diam kau membeli sebungkus puisi sebelum kau tiba di stasiun ini. Kekesalanmu memberiku kekuatan untuk mengubah diriku menjadi orang asing di mata yang kau punya. Duduk di sampingmu. Meletakkan sebungkus puisi yang kuracik sendiri, aku TAHU ini puisi kesukaanmu, bahkan sama persis dengan yang kau beli tadi.
Kau diam, ketika kubaca setengah bait pertama. Tatap matamu mengisyaratkan bahwa kau tak rela puisi ini terbagi. Lantas, kau menghabiskan setengahnya lagi. Kubaca setengah lagi, kau lanjutkan. begitu seterusnya. Hingga tersisa satu kalimat terakhir, aku memotongnya dua. Menyerahkan setengahnya padamu.
Aku TAHU, kau menggerutu. Hingga kereta tiba, dan kita kembali terpisah.
***
Seorang wanita menatap kosong di salah satu kursi penumpang kereta, matanya menghangat. Tangan mungilnya masih menimang-nimang sebungkus puisi utuh. "Bodoh, tadi ... bukan puisiku!"
Terlambat, kereta telah sangat jauh membawamu tersesat.
Seperti serabut emosi yang berpilin, saling mengikat rasa dengan kejutan listrik warna biru, aku gila. Gila mengamati mereka bolak-balik dalam neuron super kecil. Mengantarkan berjuta pesan untuk disampaikan. Dan dari berjuta pesan yang mereka bawa, ada sebungkus surat tentang hujan, tercecer menyentuh batang-batang glia. Sebuah prangko dengan gambar buku tebal, terpojok di sudut kanan surat. Meringkuk.
Ooh ... Tuhan, betapa sebuah kepedihan begitu cepat menjamur. Merayap dari sebuah amplop yang lancang kubuka. Sebagaimana sebab glia dan neuron tercipta, mereka menyampaikan pesan padaku, tentang kepedihan yang begitu limbung diterjemahkan oleh otak kecil. Anehnya, area lapisan abu-abu dengan milyaran neuron, mendadak berhenti. Memahami kepedihan saat sebuah kata terucap, berdesis di bibir yang mengucap sebuah nama.
Dan sepersekian detik, mereka kembali mengalirkan pulsa listrik seperti biasa. Hingga berhenti pada saraf kecil di dua buah mata, memaksanya berkaca-kaca.
Ini puisi? Bukan!
orang-orang cerdas, memelintir ketidaktahuan
menyembunyikan segelas kopi
hingga rasa telah tertidur dalam dengkur.
Hei ... dengkur tak COCOK, bodoh!
baiklah, aku menyoret setengah kalimatku.
kepada rasa
Bukan, ini puisi.
beberapa pasang bidadari timbul tenggelam dalam segelas kopi
butir-butir ampas hitam, lengket di selendang-tipis tubuh mereka
hingga terjaga menemaniku menulis tidurmu
kepada hujan
Ini bukan puisi.
Aku ingin kau turun, biar basah seluruh tanah
aku ingin kau berduyun, hingga bidadari tertidur
lelap dalam tumpukan uap kopi yang menebal seperti kabut
dan terbangun saat orang cerdas, membacakan bait puisi terakhirnya.
kepada otak hujan rasa
ada dua hemisfer utama yang membagi tidurmu dalam otak: Utara atau Selatan?
Nak, kelak jika engkau telah bisa membacakan Ayah sebuah dongeng, maukah kau membaca dari buku sebenarnya? Karena Ayah ingin mendengar suara gerisik ketika kau membuka halamannya. Karena Ayah ingin ujung telunjukkmu merasakan 'kasar' permukaan kertas, atau hidung kita mencium bau khas dari tinta huruf-hurufnya.
bu·ku n lembar kertas yg berjilid, berisi tulisan atau kosong
Tenang, Nak. Ayah telah membuatkanmu sebuah perpustakaan sederhana di rumah kita. Kau bisa sering-sering ke sana. Menyaksikan benda petak penuh lembar kata, tersusun berjejer-bertumpuk di rak-raknya. Bukan di dalam file PC, atau dokumen handphone.