blognya iman safri lukman

sumber gambar

Ketika diary membawa kisah ke layar-layar gamblang, puisi memberikannya kamuflase dan misteri. Ketika opini memberi batasan tentang etika, puisi membongkarnya dengan estetika. Ketika novel butuh 200 halaman untuk mengabarkan sebuah akhir, puisi mengakhiri hanya dengan kalimat pertama, tapi ia hidup lebih lama dengan berjuta penafsiran berbeda.

Begitulah puisi bagiku, ia bukan hanya sekedar deretan kata yang tersusun indah. Tapi juga sebuah 'sarana' penyampaian maksud atau lukisan hati. Ada beragam idealisme yang kuusung ketika menuliskan huruf pertama lalu bait dan bait-bait lainnya. 

Idealisme pertama: 'aku berpuisi untuk diriku' perihal nanti puisi tersebut bisa 'dinikmati' orang lain--maka itu adalah 'bonus'. Jangan pernah mengharapkan sebuah puisi yang kucipta--bisa memuaskan orang lain. Tak terkecuali ketika puisi yang ku buat diikutsertakan dalam lomba atau tidak. Puisi-puisi tersebut adalah beragam 'aku' yang berbeda rasa, dengan warna-warna tertentu. 

Idealisme kedua: 'puisi itu keindahan' puisi itu kebebasan berekspresi, tapi tidak menghilangkan unsur keindahan di dalamnya. Puisi itu membuat penyair bermain dengan kata, bukan 'takluk' pada kata yang terpaksa diciptakan. Puisi itu puisi, prosa itu prosa, kata itu kata, dan tentu saja kata puisi berbeda dengan kata-kata biasa.. setidaknya kombinasi beberapa kata adalah sebuah keunikan tersendiri.

Idealisme ketiga: 'aku butuh emosi' Ada 'sense' yang coba kugetarkan via kata yang kurangkai, ada jiwa yang coba kuhidupkan, dan aku butuh emosi apapun bentuknya serta dari manapun kudapatkan emosi itu. Puisi butuh inspirasi agar bisa menginspirasi.

Idealisme ke empat: 'keabadian puisi' meski sngat sulit menyamai puisi penyair-penyair terkenal, tapi tidak ada salahnya mencoba membuat puisi yang abadi. Produktifitas dan kuantitas pembuatan puisi tak begitu penting, kualitas yang kuanggap lebih bermakna.

salam sok tau...